Selasa, 04 Maret 2014

MAKALAH SGD TRIGGER CASE 1 PENGARUH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI


MAKALAH SGD TRIGGER CASE 1
PENGARUH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA
PRODI D-III KEBIDANAN
Jl. P. Diponegoro No. 17 Tuban 62313 Tlp (0356) 321287 Fax (0356) 333237

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK SGD 3

1.      Nurul Rizki Agustiowati                     :           ( 13.11.1.149.0763 )
2.      Olivia Yunita A                                  :           ( 13.11.1.149.0764 )
3.      Ovilla Kemala Putri                            :           ( 13.11.1.149.0765 )
4.      Popi Lidiatin                                       :           ( 13.11.1.149.0766 )
5.      Puji Isarul Fufah                                 :           ( 13.11.1.149.0767 )
6.      Qurota A’yun Farida                          :           ( 13.11.1.149.0768 )
7.      Ratna Rahmawati                               :           ( 13.11.1.149.0769 )
8.      Ainun Septiana Fitri                            :           ( 13.11.1.149.0732 )
9.      Amalina Hanifati                                :           ( 13.11.1.149.0733 )
10.  Ana Wahyu Rindani                           :           ( 13.11.1.149.0734 )
11.  Anjar Sari Mukti Rahayu                    :           ( 13.11.1.149.0735 )
12.  Rohmani Sapta Dewi                          :           ( 13.11.1.149.0774 )
13.  Seffiana Wahyu Priyani                      :           ( 13.11.1.149.0775 )
14.  Shinta Widya Rani                              :           ( 13.11.1.149.0776 )
15.  Siti Aisyah                                          :           ( 13.11.1.149.0777 )











KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati dan dengan  memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segenap limpahan rahmat, taufiq, dan hidayahnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini secara umum  membahas tentang materi ” PENGARUH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI “  yang berhubungan dengan mata kuliah kesehatan reproduksi dalam sgd trigger case 1 yang di ajarkan di STIKES NU  Tuban.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ditemukan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik yang membangun untuk proses perbaikannya dari semua pihak yang terkait, sangat kami harapkan.
Kami berharap agar makalah ini sangat bermanfaat bagi semua komponen STIKES NU Tuban  dalam melaksanakan pembelajaran khususnya pihak-pihak yang terkait pada umumnya.









DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................... 2
NAMA KELOMPOK............................................................... 3
KATA PENGANTAR.............................................................. 4
DAFTAR ISI.............................................................................. 5
BAB. I PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang....................................................................... 6
1.2  Rumusan masalah.................................................................. 9
1.3  Tujuan masalah.................................................................... 10
1.4  Manfaat................................................................................ 10
1.5  Metode penulisan................................................................. 11
BAB. II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kesehatan reproduksi......................................... 12
2.2 Kata unfamiliar.................................................................... 13
2.3 Permasalahan....................................................................... 16
BAB. III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 27
3.2 Saran.................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................. 29


BAB. I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama : ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996)
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial.  Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dannorma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apa bilanilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature keculture sering terjadi penaklukan.  Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.  Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.  Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami.  Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.  Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.  Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.  Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional.  Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,.  Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.  Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.  Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik.  Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.  Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang).  Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.  Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.

Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit.  Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.
Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih sedikit.  Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.  Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri.  Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.
Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai tindakan kekerasan pada istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi.

1.2  Rumusan Masalah

1        Apa hubungan KDRT dengan kesehatan reproduksi ?
2        Apa akibat dari ulah KDRT  tersebut ?
3        Bagaimana cara mengatasi KDRT ?
4        Apa penyebab KDRT ?
5        Pada pasal berapa KDRT di atur dalam UUD ?
6        Bagaimana peran suami dalam memberikan kesehatan yang layak terhadap istrinya ?
7        Apa dasar hukum dari KDRT ?
8        Adakah akibat dari pekerjaan sampingan terhadap kesehatan reproduksi ?
9        Bagaimana tenaga kesehatan menghadapi KDRT ?

1.3  Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui hubungan KDRT dengan kesehatan reproduksi
2.      Untuk mengetahui akibat dari ulah KDRT tersebut
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi KDRT
4.      Untuk mengetahui penyebab KDRT
5.      Untuk mengetahui Pada pasal berapa KDRT di atur dalam UUD
6.      Untuk mengetahui Bagaimana peran suami dalam memberikan kesehatan yang layak terhadap istrinya
7.      Untuk mengetahui Apa dasar hukum dari KDRT
8.      Untuk mengetahui Adakah akibat dari pekerjaan sampingan terhadap kesehatan reproduksi
9.      Untuk mengetahui Bagaimana tenaga kesehatan menghadapi KDRT
10.  Membantu mahasiswa memenuhi tugas mata kuliah kesehatan reproduksi
.
1.4  Manfaat


A.    Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh KDRT terhadap kesehatanreproduksipadawanita
B.   Bagi responden
Dapat mengetahui tentang pengaruh KDRT terhadap kesehatan reproduksi padawanita
C.     Bagi institusi pendidikan
Memberikan sumbangan pustaka dan literatur yang dapat digunakan oleh mahasiswa STIKES NU TUBAN.
D.    Bagi institusi pelayanan kesehatan
Dapat mengetahui dampak negative dari KDRT  yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.

1.5  Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan, dimana dalam pengumpulan data yakni melalui penelitian dokumen, data diperoleh dari berbagai sumber baik dalam media cetak maupun elektronik atau internet.













BAB. II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan Reproduksi
Pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Definisi kesehatan reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses. 
Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut:
 1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi;
 2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya;
3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural; 
4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
2.2 Trigger Case 1
Kasus 1
Narti ( nama samaran ) bikin kaget dan prihatin warga sekampung. Pasalnya, warga lingkungan bendega, tanjung karang, mataram, nusa tenggara barat merasa kedua lengan nya lumpuh, pandangan kabur dan pusing setelah di pukul suaminya hasan ( nama samaran ). Kejadian ini di picu oleh sikap narti yang terpaksa menggadaikan sertivikat rumah ke sebuah bank karena tuntutan ekonomi mengingat suaminya kawin lagi dan tidak menafkahi keluarga.
Kasus 2
Odah (bukan nama asli ). Ibu rumah tangga, warga sebuah kompleks perumahan di mataram, harus memutar otak dan membanting tulang untuk bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangganya, suaminya saleh (nama samaran ) adalah seorang PNS tetapi jarang sekali memberikan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika odah mengambil inisatif untuk bekerja sampingan, saleh malah memarahinya dengan menganggap ia lebih mementingkan orang lain dan pekerjaan dari pada kepentingan keluarga.





2.2 Kata Unfamiliar

1.      .Inisiatif                    : Suatu pikiran atau cara untuk menyelesaikan masalah

2.      Memutar otak           : Pemikiran yang lebih dalam untuk memecahkan suatu masalah sehingga masalah tersebut terselesaikan secara baik

3.      Lumpuh                    : Melemahnya system saraf motorik yang dapat mengakibatkan ke empat ekstremitas dan panca indra tidak berfungsi sama sekali.

4.      Pusing                       : suatu gejala yang di timbulkan oleh beberapa faktor salah satunya karena banyak fikiran ,sehingga menyebabkan rasa sakit di kepala

5.      Membanting tulang   :bekerja keras untuk menghidupi keluarga

6.      Di picu                      : suatu keadaan yang mengakibatkan permasalahan


7.      Sertifikat                   : surat yang menandakan hak milik / prestasi seseorang dengan wuud pencapaian seseorang

8.      Kaget                        : suatu kejadian yang terjadi secara tiba-tiba sehingga orang tersebut bereaksi reflex.


9.      Ekonomi meningkat  : penghasilan lebih banyak dari pada pengeluaran

10.  Kebutuhan sehari-hari           : segala sesuatu yang di butuhkan oleh manusia untuk memenuhi semua kebutuhanya.


11.  Pandangan kabur      :  pandangan yang di sebabkan karerna adanya gangguan pada system saraf mata

12.  Menafkahi keluarga : suatu kewajiban kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya.


13.  Bekerja sampingan    : seseorang yang mempunyai pekerjaan lebih dari satu orang

14.  Kepentimgan keluarga          : suatu acara / kebutuhan keluarga yang wajib di  ikuti keluarga tersebut

15.  Menggendaikan        : menukar barang dengan uang
16.  Kompleks                  : keseluruhan / seluruh rumah yang berada pada wilayah tersebut.

17.  Prihatin                     : suatu tindakan atau perasaan yang muncul dari diri seseorang terhadap permasalahan.


18.  Keluarga                   : laki-laki dan perempuan yang sudah menikah ,memiliki buah hati atau anak yang yang masih terikat dengan hubungan darah.

19.  Lingkungan               : segala sesustu di sekitar kita

20.  Bank                                     : suatu organisasi yang di dalamnya terdapat kegiatan meminjamkan dan menabung uang untuk mendapat keuntungan.

21.  Warga                       : orang yang menetap dan tinggal di wilayah tertentu.

22.  Kawin                       : laki-laki dan perempuan yang terikat perjanjian secara agama dan hukum .
23.  PNS                          : seseorang yang di rekrut dari seleksi tingkat rendah ke tinggi

2.3 Permasalahan

1.      Apa hubungan KDRT dengan kesehatan reproduksi ?
Jawaban :
Dampak yang dialami perempuan dari penderitaan fisik seperti patah tulang, bengkak, memar , pendarahan, ada juga alat reproduksi yang dipotong. Sedangkan secara psikis mereka akan putus asa, tidak berdaya, mati rasa, menarik diri dari pergaulan dan penurunan motifasi atau bahkan lebih lanjut dapat menjadikan mereka bosan hidup, dari dampak psikis tersebut juga mengakibatkan system reproduksi menurun.
Misalnya: jika kita terlalu banyak pikiran dapat mempengaruhi keterlambatan menstruasi atau kemunduran.

2.      Apa akibat dari ulah KDRT tersebut ?
Jawaban :
Akibat dari KDRT sendiri biasanya penderita fisik, psikis, pinan sial, tetapi dalam triges cass I di jelaskan akibat ula KDRT, Narti (istri) merasa kedua lengannya lumpuh, pandangan kabur dan pusing.
Selain itu terdapatdampak lainnya:
·         Terganggunya motif biologis.
·         Terganggunya motif psikologis.
·         Tergantungnya motif teologis.
·         Tergantungnya motif sosial.

3.      Bagaimana cara mengatasi KDRT ?
Jawaban :
Cara untuk mengatasi KDRT
·         Masyarakat harus menyadari bahwa KDRT sebagai masalah yang perlu diatasi
·         Menyebarluaskan produk hukum KDRT
  • Membekali perempuan dengan cara-cara penjagaan keselamatan diri
  • Kalau ada masalah harus diselesaikan dengan dialog
  • Menahan ego, komunikasi dan terbuka
  • Tetap saling percaya dan menghargai
  • Tetap menjaga keharmonisan
4.      Apa penyebab KDRT ?
Jawab :
-          Masalah satu di picu karena masalah narti yang terpaksa mengadaikan sertifikat tanah rumah ke bank n, karena tuntutan ekonomi, mengingat suaminya kawin lagi dan tidak menafkai keluarga.
-          Masalah dua karena odah mengambil inisiatif untuk berkerja sampingan, soleh malah memarahinya dengan mengangap ia lebih mementingkan orang lain dan pekerjaan dari pada kepentingan keluarga

5.      Pada pasal berapa KDRT diatur dalam UUD ?
Jawab :
Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.
(Pasal 1 ayat 1)
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

(Pasal 2 ayat 1):
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

(Pasal 5):
bentuk-bentuk KDRT :
a.       Kekerasan fisik;
b.      Kekerasan psikis;
c.       Kekerasan seksual; atau
d.      Penelantaran rumah tangga

( PASAL 6 )
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat

( PASAL 7 )
kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang

( PASAL 8 )
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi :
a.       Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukAan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

( PASAL 9 )
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut .

(pasal 10)
Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

(pasal 39)
Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari .
a.       Tenaga kesehatan;
b.      Pekerja sosial;
c.       Relawan pendamping; dan/atau
d.      Pembimbing rohani.

(pasal 12)
Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus
a.       Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b.      Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c.       Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.      Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

(pasal 15)
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

(pasal 26 ayat 1)
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan.Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian.
Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian.



(pasal 27)
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan .

pasal 44 – pasal 53
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni

pasal 47 dan pasal 48
Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”
(pasal 55)
Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya .Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a.       Keterangan saksi;
b.      Keterangan ahli;
c.       Surat;
d.      Petunjuk;
e.       Keterangan terdakwa.
6.      Bagaimana peran suami dalam memberikan kesehatan yang layak terhadap istrinya ?
Jawab :
peran suami :
A.    Menjadi PANUTAN yang layak dicontoh. Sangatlah penting bagi suami untuk hidup BERINTEGRITAS, yakni apa yang dikatakan sama dengan apa yang dilakukan. Sudah tentu apa yang dikatakan dan dilakukan haruslah sesuai atau mendekati standar kehidupan sebagaimana ditetapkan Firman Tuhan. Sewaktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, tidak bisa tidak, ia pun tambah MENGHORMATI suami. Ketika hormat sudah bertumbuh, rasa PERCAYA pun bertunas. Alhasil istri lebih cepat dan lebih mudah MENDENGARKAN arahan suami. Itu sebabnya manakala suami ingin berfungsi sebagai pemimpin yang dapat mengarahkan istri, terlebih dahulu ia mesti mendemonstrasikan kehidupan yang berintegritas.
  1. Mengedepankan kepentingan BERSAMA di atas kepentingan pribadi. Kita adalah makhluk yang BERKEINGINAN dan berusaha untuk mewujudkan keinginan. Itu sebabnya salah satu sumber gesekan dalam pernikahan adalah kegagalan kita MENYELARASKAN keinginan. Istri menghendaki berjalan ke arah kiri, sedang suami ingin mengambil jalan ke kanan. Untuk dapat mengarahkan istri, penting bagi suami menunjukkan kepada istri bahwa dalam pengambilan keputusan, ia telah berusaha sedapatnya untuk MEMPERHITUNGKAN keinginan istri. Singkat kata, suami baru dapat mengarahkan istri bila istri yakin bahwa suami berusaha memperjuangkan keinginannya pula. Jadi, bila suami ingin dapat mengarahkan istri, penting baginya untuk pertama-tama mengenali kebutuhan dan kondisi istri. Setelah mengetahui dengan jelas, berusahalah untuk mengikutsertakan faktor istri ke dalam perencanaan hidupnya.
  2. Dapat bersikap tegas di dalam KEBENARAN, bukan kemarahan. Terlalu banyak suami yang bersikap tegas kepada istri bukan di dalam kebenaran melainkan di dalam kemarahan. Terlalu sering suami bersikap kasar kepada istri bukan karena kebenaran, melainkan karena ketidaksukaan belaka. Bila suami ingin mengarahkan istri, ia harus mengetahui apa yang benar dan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Setelah itu ia mesti menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan atau kegagalannya hidup sesuai kehendak Tuhan. Bukan saja ia mengakuinya lewat perkataan, ia pun harus menunjukkannya lewat perbuatan yaitu ia terbuka untuk menerima teguran atau koreksi istri. Nah, didalam keterbukaan dan kesediaannya menerima koreksi atau teguran istri, suami bersikap tegas didalam kebenaran terhadap istri. Jika salah, beritahukanlah dan bila berdosa, tunjukkan dosanya. Namun penting bagi suami untuk melakukannya dengan lemah lembut serta kerendahan hati sebab ia pun manusia berdosa yang tidak luput dari kesalahan. Memberi panduan yang jelas kepada kita semua, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu jangan kena pencobaan."
  3. Membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat di dalam hal-hal KECIL. Mustahil bagi suami untuk dapat memberi arahan kepada istri bila rekaman jejaknya sarat dengan kesalahan. Kadang-kadang inilah yang terjadi. Suami memaksakan kehendaknya kepada istri namun masalahnya adalah di masa lampau terlalu sering ia membuat kesalahan. Perhitungannya meleset dan perkiraannya keliru. Jadi, jika suami bersedia mengakui bahwa memang rekaman jejaknya tidaklah mendukung, janganlah tergesa-gesa mengeluarkan pendapat apalagi memaksakan kehendak. Sebaliknya, bermusyawarahlah dengan istri dan sedapatnya buatlah keputusan berdasarkan mufakat bersama.

7.      Apa dasar hukum dari KDRT ?
Jawab :
Dasar hukum KDRT adalah Undang-undang 1995 yang ada pada uu no 32 tahun 2004 mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
8.      Adakah akibat dari pekerjaan sampingan terhadap kesehatan reproduksi ?
Jawab :
perempuan yang bekerja sampingan dapat menyebabkan kondisi dari perembpuan tersebut kelelahan dan stres ini dapat berakibat pada sistem reproduksi salah satunya yaitu telatnya menstruasi .

9.      Bagaimana tenaga kesehatan menghadapi KDRT ?
Jawab :
A.    Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
B.     Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visuma t repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti
C.     Pelayanan kesehatan tersebut dialkukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat

















BAB. III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.      Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana.  Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2.      Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam  rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3.      Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4.      Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5.      KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.




3.2 Saran
Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.















DAFTAR PUSTAKA

Æ  Harahap, Farida. 2006. Kekerasan dalam Rumah Tangga. Paradigma, No. 01 Th. I, Januari 2006. ISSN 1907-297X.
Æ  Sukerti, Ni Nyoman,  2005. “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga : Kajian Dari Perspektif Hukum Dan Gender Studi Kasus Di Kota Denpasar”. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

0 komentar:

Posting Komentar